search

Minggu, 25 Desember 2011

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI


JUDUL:
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
Karya: Mubyarto
I. Pendahuluan
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar 1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan(demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
Barangkali cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.

II 
KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/images/art3_gb1.gif 
Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Faktor utama mengapa  anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
Hal lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/images/art3_gb2.gif 
Pelonjakan nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama?
Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi.
Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal.  Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Modal yang dibutuhkan untuk membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.

III 
Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil.
Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi.
Jika banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder).
Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi.
Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya.
Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.

IV . Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh bukuEconomics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik.
Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik(Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik.
Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu,selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di Indonesia, sampai dengan krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.

Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal (1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri.
 “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru (1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa  ini makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
Alasan kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
1.       Austrian Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
2.       Post Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3.       Sraffian Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh komoditi.
4.       Complexity Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi. 
5.    Evolutionary Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Dari ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.

V .
 Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :
Dosa ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang mudah.
Salah satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan  makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.

VI . KESIMPULAN
Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya  yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila.
Juli 2002

Daftar Pustaka 
Prof. Dr. Mubyarto: 
Guru Besar FE - UGM
 Makalah untuk Seminar hari Koperasi dan 100 Tahun Bung Hatta, Kosudgama Yogyakarta, 18 Juli 2002
BACAAN
-    James A. Caporaso & David P. Levine, 1992. Theories of Political Economy, Cambridge University Press, Cambridge.
-    Paul Ekins & Manfred Max-Neef (ed). 1992, Real-Life Economics, Routledge. London-New York.
-    Steve Keen, 2001. Debunking Economics, Pluto Press-Zed Books, New York.
-    Daniel B. Klein (ed), 1999, What Do Economists Contribute, New York University Press, New York.
-    Robert H. Nelson, 2001. Economics as Religion. Pennsylvania State University, University Park.
-    Paul Ormerod, 1994. The Death of Economics, Faber  & Faber, London.

NAMA KELOMPOK :
 YUNIANTI TRI ANI ASTUTI (28210776)
ANGIE RIYANTI RINNUS ( 29210187 )
APRIYANI PUSPA SARI ( 20210972 )
FITRI SABRINA ( 22210840 ) 
INTAN ARDITHA ( 23210558 )
OLIVIA CINDY AGUSTINA ( 25210276 )
RIFQA SARI ADLY ( 252210776 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar